Kamis, 28 Juli 2011

Candi Lor

Candi Lor
Secara geografis Candi Lor terletak di desa Candirejo, Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk, atau kira-kira 3-4 kilometer arah selatan dari pusat kota Nganjuk. Berdasarkan bukti tertulis yang ditemukan di kompleks candi ini, dapat dikemukakan bahwa Candi Lor ini didirikan oleh Pu Sindok pada tahun 859 Caka atau 937 M sebagai Tugu Peringatan Kemenangan Sindok atas musuhnya dari Melayu.
Secara riil, candi yang menghadap ke barat ini wujudnya sudah tidak berbentuk lagi (sudah sangat rusak). Hal ini disebabkan usia bangunan yang memang sudah sangat tua, bahkan bangunan yang terbuat dari batu merah dan tumbuhnya pohon Kepuh di badan candi yang akar-akarnya mencengkeram dan menghunjam kesegala arah di badan candi sebelah selatan. Candi ini berdiri atas tanah seluas 42 x 39,4 meter 91654 meter persegi), luas soebasemen (alas) 12,4 x 11,5 meter (142,6 meter persegi) dan tinggi candi lebih kurang 9,3 meter.
Krom berpendapat, bahwa candi ini pada awalnya bertingkat dan bersifat Siwais. Dalam candi ini terdapat beberapa area diantaranya Ganesha dan Nandi. Meskipun keadaannya sudah rusak, dapat diperkirakan bahwa candi ini dahulunya mempunyai ruang dalam yang berbentuk segi empat.. Hal ini terlihat adanya sudut siku-siku yang masih tampak di sudut timur laut ruang dalam candi ini.
Sekarang ini, di sebelah barat candi terdapat dua arca yang semuanya sudah tanpa kepala, yang satu diperkirakan arca Ganesha dan yang lain Siwa Mahadewa. Di sebelah barat arca terdapat Lingga dan Yoni, yang keadaannya telah rusak (Yoni telah pecah dan Lingga tinggal sebagian). Di sebelah baratnya lagi terdapat dua buah makam yang oleh penduduk diyakini sebagai makam Yang Karta dan Yang Kerti, abdi kinasih Pu Sindok. Jika benar bahwa benda-benda tersebut asli dari Candi Lor, maka dapat disimpulkan bahwa candi Lor bersifat Siwa.
Pada tahun 1913, di sawah sekitar candi berhasil ditemukan 4 (empat) buah arca yang terbuat dari perunggu, yang menggambarkan pantheon Budhisme, yaitu :
1. Tara Musik, berukuran 7,8 cm, menggambarkan seseorang yang sedang memainkan kecapi yang terbuat dari rotan dalam ekspresi menyanyi dan menari, dengan tugas memuja Dhyani Budha.
2. Bodhisattwa, berukuran 7,8 cm. dalam Budha Mahayana Bodhisattwa dianggap sebagai calon Budha. Tiap-tiap Dhyani Buddha mesti dikelilingi oleh Bodhisattwa. Disini Shyani Budha dikelilingi oleh 4 Bodhisattwa yang disebut Vajradathu Mandala.
3. Dhupa Tara dan Puspha Tara, berukuran 9 cm. Kedua arca ini digambarkan ramping dan sangat indah. Yang satu digambarkan sama dengan Tara Musik, dan yang satunya digambarkan sebagai Dhupa Bunga.
Patung yang diketemukan di dekat Candi Lor ini sangat penting ditinjau dari segi artistik dan ikonografinya (ilmu tentang arca). Susunan pantheonnya sangat khas, yaitu mengungkapkan tradisi kerajaan dengan patung Budha yng menghadap keempat penjuru. Beberapa patung perunggu ini karena keindahannya pernah dipamerkan di Arena Pameran Benda Seni Negeri Jajahan di Paris tahun 1931. Seorang ahli sejarah kuno Indonesia, Dr. FDK. Bosch yang terpesona dengan patung tersebut membandingkan dengan patung Budha Liran Singon di Jepang. Sedangkan ciri-cirinya yang indah itu dibandingkan dengan gambaran pada naskah ikonografi Budha yang ada di Bali.
Di kompleks candi ini, diketemukan pula sebuah batu bertulis (prasasti) yang kemudia telah dikenal dengan nama Prasasti Anjuk Ladang. Prasasti ini mula-mula untuk kepentingan penelitian, yang kemudian dibawa ke Kediri (kediaman Residen Kediri) dan sekarang telah disimpan di Museum Nasional dengan nomor koleksi F-59. Prasasti ini berisi maklumat dari seorang pejabat tinggi kerajaan, yang ditulis pada bagian muka 49 baris dan pada bagian belakang terdiri dari 36 baris. Berdasarkan tulisan tersebut dapat dikatakan bahwa prasasti itu dikeluarkan Pu Sindok yang bergelar Sri Maharaja Pu Sindok Sri Isana Dharmotunggadewa pada tahun 859 C atau 937 M.
Walaupun Candi Lor keadaannya telah rusak, namun ditempat inilah terdapat salah satu bukti bahwa Nganjuk pernah berperan dalam panggung sejarah nasional. Disini terdapat batu bertulis yang memuat sebutan (toponimi) yang sangat dekat sekali ucapannya dengan Nganjuk, yakni Anjuk Ladang. Candi Lor ini merupakan bukti sejarah tentang keberhasilan Pu Sindok mengalahkan musuhnya, dan sekaligus merupakan Tugu Peringatan (Jayastamba).


Oleh : M. Suhkron

Candi Ngetos

Candi Ngetos
a. Letak Geografis dan Wujud Fisik
Terletak di Desa Ngetos, Kecamatan Ngetos, sekitar 17 kilometer arah selatan kota Nganjuk. Bangunannya terletak ditepi jalan beraspal antara Kuncir dan Ngetos. Menurut para ahli, berdasarkan bentuknya candi ini dibuat pada abad XV (jaman Majapahit). Dan menurut perkiraan, candi tersebut dibuat sebagai tempat pemakaman Raja Hayam Wuruk dari Majapahit. Bangunan ini secara fisik sudah rusak, bahkan beberapa bagiannya sudah hilang, sehingga sukar sekali ditemukan bentuk aslinya.
Berdasarkan arca yang ditemukan di candi ini, yaitu berupa arca Siwa dan arca Wisnu, dapat dikatakan bahwa Candi Ngetos bersifat Siwa�Wisnu. Kalau dikaitkan dengan agama yang dianut Raja Hayam Wuruk, amatlah sesuai yaitu agama Siwa-Wisnu. Menurut seorang ahli (Hoepermas), bahwa didekat berdirinya candi ini pernah berdiri candi berukuran lebih kecil (sekitar 8 meter persegi), namun bentuk keduanya sama. N. J. Krom memperkirakan bahwa bangunan candi tersebut semula dikelilingi oleh tembok yang berbentuk cincin.
Bangunan utama candi tersebut dari batu merah, sehingga akibatnya lebih cepat rusak. Atapnya diperkirakan terbuat dari kayu (sudah tidak ada bekasnya). Yang masih bisa dilihat tinggal bagian induk candi dengan ukuran sebagai berikut : Panjang candi (9,1 m), tinggi badan (5,43 m), tinggi keseluruhan (10 m), saubasemen (3,25 m), besar tangga luar (3,75 m), lebar pintu masuk (0,65 m), tinggi undak menuju ruang candi (2,47 m) dan ruang dalam (2,4 m).
b. Relief
Terdapat empat buah, namun sekarang hanya tinggal satu, yang tiga telah hancur. Pigura-pigura pada saubasemennya (alasnya) juga sudah tidak ada. Dibagian atas dan bawah pigura dibatasi oleh loteng-loteng, terbagi dalam jendela-jendela kecil berhiaskan belah ketupat, tepinya tidak rata, atau menyerupai bentuk banji. Hal ini berbeda dengan bangunan bawahnya yang tidak ada piguranya, sedankan tepi bawahnya dihiasi dengan motif kelompok buah dan ornamen daun.
Disebelah kanan dan kiri candi terdapat dua relung kecil yang diatasnya terdapat ornamen yang mengingatkan pada belalai makara. Namun jika diperhatikan lebih seksama, ternyata suatu bentuk spiral besar yang diperindah. Dindingnya terlihat kosong, tidak terdapat relief yang penting, hanya diatasnya terdapat motif daun yang melengkung ke bawah dan horisaontal, melingkari tubuh candi bagian atas.
Yang menarik, adalah motif kalanya yang amat besar, yaitu berukuran tinggi 2 x 1,8 meter. Kala tersebut masih utuh terletak disebelah selatan. Wajahnya menakutkan, dan ini menggambarkan bahwa kala tersebut mempunyi kewibawaan yang besar dan agaknya dipakai sebagai penolak bahaya. Motif kala semacam ini didapati hampir pada seluruh percandian di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Motif ini sebenarnya berasal dari India, kemudian masuk Indonesia pada Jaman Hindu. Umumnya, di Indonesia motif semacam ini terdapat pada pintu-pintu muka suatu percandian.
c. Arca Candi
Di Candi Ngetos sekarang ini tidak didapati lagi satu arcapun. Namun menurut penuturan beberapa penduduk yang dapat dipercaa, bahwa didalam candi ini terdapat dua buah arca, paidon (tempat ludah) dan baki yang semuanya terbuat dari kuningan. Krom pernah mengatakan, bahwa di candi diketemukan sebuah arca Wisnu, yang kemudian disimpan di Kediri. Sedangkan yang lain tidak diketahui tempatnya. Meskipun demikian bisa dipastikan bahwa candi Ngetos bersifat Siwa-Wisnu, walaupun mungkin peranan arca Wisnu disini hanya sebagai arca pendamping. Sedangkan arca Siwa sebagai arca yang utama. Hal ini sama dengan arca Hari-Hara yang terdapat di Simping, Sumberjati yang berciri Wisnu.
d. Cerita Rakyat
Candi Ngetos, yang sekarang tinggal bangunan induknya yang sudah rusak itu, dibangun atas prakarsa Raka Hayam Wuruk. Tujuan pembuatan candi ini sebagai tempat penyimpanan abu jenasahnya jika kelak wafat. Hayam Wuruk ingin dimakamkan disitu karena daerah Ngetos masih termasuk wilayah Majapahit yang menghadap Gunung Wilis, yang seakan-akan disamakan dengan Gunung Mahameru. Pembuatannya diserahkan pada pamannya Raja Ngatas Angin, yaitu Raden Condromowo, yang kemudian bergelar Raden Ngabei Selopurwotoo. Raja ini mempunyai seorang patih bernama Raden Bagus Condrogeni, yang pusat kepatihannya terletak disebelah barat Ngatas Angin, kira-kira berjarak 15 km.
Diceritakan, bahwa Raden Ngabei Selopurwoto mempunyai keponakan yang bernama Hayam Wuruk yang menjadi Raja di Majapahit. Hayam Wuruk semasa hidup sering mengunjungi pamannya dan juga Candi Lor. Wasiatnya kemudian, nanti ketika Hayam Wuruk wafat, jenasahnya dibakar dan abunya disimpan di Candi Ngetos. Namun bukan pada candi yang sekarang ini, melainkan pada candi yang sekarang sudah tidak ada lagi.
Konon ceritanya pula, di Ngetos dulu terdapat dua buah candi yang bentuknya sama (kembar), sehingga mereka namakan Candi Tajum. Hanya bedanya, yang satu lebih besar dibanding lainnya. Krom juga berpendapat, bahwa disekitar candi Ngetos ini terdapat sebuah Paramasoeklapoera, tempat pemakaman Raja Hayam Wuruk. Mengenai kata Tajum dapat disamakan dengan Tajung, sebab huruf �ng� dapat berubah menjadi huruf �m� dengan tanpa berubah artinya. Misalnya Singha menjadi Simha dan akhirnya Sima. Hal ini sesuai dengan pendapat Soekmono yang menyatakan bahwa setelah Hayam Wuruk meninggal dunia, maka makamnya diletakkan di Tajung, daerah Berbek, Kediri.
Selanjutnya diceritakan, bahwa Raja Ngatas Angin R. Ngabei Selupurwoto mempunyai saudara di Kerajaan Bantar Angin Lodoyo (Blitar) bernama Prabu Klono Djatikusumo, yang kelas digantikan oleh Klono Joyoko. Raja-raja ini ditugaskan oleh Hayam Wuruk untuk membuat kompleks percandian. Raden Ngabai Selopurwoto di kompleks Ngatas Angin menugaskan Empu Sakti Supo (Empu Supo) untuk membuat kompleks percandian di Ngetos. Karena kesaktiannya maka dalam waktu yang tidak terlalu lama tugas tersebut dapat diselesaikan sesuai petunjuk.



Samsul Hudha

FENOMENA AIR TERJUN SEDUDO

Air Terjun Sedudo adalah sebuah air terjun dan obyek wisata yang terletak di Desa Ngliman Kecamatan Sawahan, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Jaraknya sekitar 30 km arah selatan ibukota kabupaten Nganjuk. Berada pada ketinggian 1.438 meter dpl, ketinggian air terjun ini sekitar 105 meter. Tempat wisata ini memiliki fasilitas yang cukup baik, dan jalur transportasi yang mudah diakses.
Dari pelataran parkir pengunjung sudah dapat menikmati pesona air terjun sedudo, dengan berjalan menuruni tangga sekitar 5 menit pengunjung akan sampai di pelataran air terjun Sedudo. Bagi pengunjung yang tidak tahan hawa dingin tetapi ingin berendam sebaiknya datang ketempat ini pada saat tengah hari. Hawa gunung yang dingin sangat terasa pada saat pagi hari dan sore hari.
Kawasan Air Terjun Sedudo dahulunya adalah tempat Ki Ageng ngaliman bertapa. Adapun beliau dahulunya adalah tokoh penyebar agama Islam di Nganjuk. Sebagai penghormatan kepada Ki Ageng Ngaliman atas jasa-jasanya, masyarakat menyelenggarakan upacara ritual Pengambilan Air Sedudo pada setiap 1 Suro.
Air Terjun Sedudo sudah terkenal sejak zaman Majapahit. Air Sedudo diyakini sebagai Tirta Suci yang mengalir dari Kahyangan sehingga pada zaman Majapahit, Raja, Bangsawan dan Pendeta sering mempergunakan Air Sedudo untuk mencuci senjata pusaka milik Raja dan Patih dalam Prana Prastita.
Air Terjun Sedudo
Miliki Aura Mistik yang Tinggi
Dibanding Bromo dan Semeru, Gunung Wilis di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, tak begitu tenar. Namun, lereng Gunung Wilis memiliki permata yang bisa dinikmati banyak orang, yakni Air Terjun Sedudo.
Panorama yang elok dan alami langsung tergelar tatkala pandangan terarah ke kawasan Gunung Wilis (2.552 meter). Boleh jadi karena sifat alaminya itu, gunung tersebut lebih banyak dikunjungi pencinta alam ketimbang turis atau pelancong biasa.
Bagi mereka yang berkunjung ke Air Terjun Sedudo, rasanya kurang asyik jika tak mencelupkan kaki di kolamnya. Selain menikmati keindahan air terjun yang memuncratkan butiran-butiran air di sekeliling lokasi air terjun, banyak pengunjung yang membasuh wajah dengan air.
Ada pula pengunjung yang langsung menenggak air terjun karena air itu ternyata bisa diminum. Warga setempat percaya, air Sedudo bisa membuat sehat dan awet muda. "Mandi di Sedudo Membuat Badan Sehat dan Awet Muda", begitu tulisan di papan kayu bercat biru yang dipakukan pada sebatang pohon.
Aura mistik
Tak hanya itu. Air Terjun Sedudo juga diyakini memiliki aura mistik yang tinggi. Setiap malam Tahun Baru Hijriah 1 Muharam atau malam 1 Sura, ribuan penduduk selalu memadati Sedudo untuk berendam atau mandi di sana.
Bahkan, berdasarkan cerita turun-temurun, di masa lampau Air Terjun Sedudo dimanfaatkan oleh raja-raja pada masa Kerajaan Majapahit (abad ke-13) dan para ulama pada masa kesultanan Islam. Pada masa Majapahit, air Sedudo dimanfaatkan untuk mencuci senjata pusaka raja dan patihnya. Lalu, pada masa Islam, kawasan ini dijadikan tempat pertapaan oleh Ki Ageng Ngaliman, tokoh penyebar agama Islam di Nganjuk.
Tak heran, pada setiap malam 1 Sura masyarakat setempat berziarah dan menyirami makam Ki Ageng Ngaliman dengan air Sedudo. Warga Nganjuk berharap, mereka akan mendapatkan berkahnya.
Air terjun berada pada ketinggian 1.438 meter di atas permukaan laut. Sedudo terletak di Desa Ngliman, Kecamatan Sawahan, sekitar 33 kilometer dari kota Nganjuk ke arah selatan. Air terjun yang tampil amat alami ini menjadi obyek wisata andalan Nganjuk. Kalau perjalanan dari kota Nganjuk ke Kecamatan Sawahan gampang-gampang saja, tidak demikian halnya menjangkau Sedudo. Maklum saja, Kecamatan Sawahan terletak di kaki hingga lereng Gunung Wilis.
Berkelok-kelok
Selepas Berbek dan masuk Sawahan, jalan aspal berkelok-kelok dan menanjak. Kondisi itu agak berbahaya karena di kiri jalan ada jurang yang curam. Namun, perasaan khawatir saat mendaki jalan berkelok tersebut nyaris terobati ketika mata menyapu panorama indah.
Panorama kota dan lahan pertanian hijau di bawah lereng sungguh menggelitik batin untuk berhenti sejenak. Apalagi begitu memasuki Kecamatan Sawahan sudah terlihat beberapa air terjun yang jaraknya berdekatan. Salah satunya dan yang tersohor adalah Air Terjun Sedudo.
Kalau udara cukup cerah, tampak jelas garis horizon yang menyatukan warna hijau bumi dan biru langit. Sayang, berfoto di tengah jalan itu tak mungkin dilakukan karena lebar jalan yang hanya muat dua mobil dari dua arah.
Beberapa kilometer sebelum masuk pintu gerbang menuju Sedudo, pandangan makin dimanjakan oleh keindahan alam. Hamparan bunga mawar tampak menghiasi pekarangan rumah penduduk hingga di kiri-kanan jalan. Semuanya tampak indah.
Tepat di depan pintu gerbang, pengunjung harus membayar retribusi Rp 2.000. Kendaraan roda dua dipungut Rp 1.000, sedangkan kendaraan roda empat Rp 2.000.
Setelah melewati loket, pengunjung menemui jalan dua arah, ke atas menuju Sedudo, sedangkan ke bawah menuju Agrowisata Ganter. Untuk sampai ke Sedudo, dari gerbang itu perjalanan menanjak masih berlanjut sekitar dua kilometer. Setelah melewati satu pos penjagaan, barulah terdengar gemuruh Air Terjun Sedudo yang sudah di depan mata.
Air terjun setinggi 150 meter ini sebenarnya mengalir pada satu pangkal di atasnya, seolah hanya membentuk satu garis lurus. Namun, jalur alirannya sama sekali tak mulus karena mengalir melewati batu-batuan di tebing. Itulah yang justru membuat Sedudo tampak molek dan alami. Dia merupakan paduan hijaunya berbagai flora, hitamnya bebatuan di lereng, dan putihnya air terjun.





Nama : Mochamad Tofa
NPM : 07.01.1.07.0039

Minggu, 24 Juli 2011

Wisata Air Terjun Merambat Roro Kuning

Air terjun Roro kuning merupakan salah satu objek wisata yang ada di Kabupaten Nganjuk. Air terjun Roro kuning terletak di Desa Bajulan, Kecamatan Loceret yang berada diketinggian 600 meter dari permukaan air laut. Air terjun ini mengalir dari sumber gunung wilis yang mengalir merambat di sela-sela bebatuan padas di bawah pepohonan hutan pinus. Kemudian menjadi air terjun dengan ketinggian 15 meter yang membentuk trisula, karena proses mengalirnya itulah maka masyarakat Desa Bajulan menamakan air terjun merambat.
Menurut Mbah Anom juru kunci gunung wilis. Nama Roro Kuning sendiri berasal dari Ruting dan Roro Kuning putri raja Kadiri dan Dhoho yang berkuasa sekitar abad ke 11-12. Ruting yang aslinya bernama Dewi Kilisuci dan Roro Kuning yang sebenarnya Dewi Sekartaji adalah putri semata wayang Lembu Amiseno dari Kerajaan Doho.
Ketika kedua putri raja itu sakit, di kerajaan tidak ada yang bisa menyembuhkan. Runting sakit kuning dan Roro Kuning sakit gondok dan kulit. Untuk mencari kesembuhan kedua putri raja mengembara masuk keluar hutan belantara, naik gunung turun gunung dan akhirnya singgah di lereng Gunung Wilis Desa Bajulan. Ketika sedang merenungi nasibnya sang putri bertemu dengan Resi Darmo dari Padepoan Ringin Putih desa Bajulan.
Di sinilah dua putri raja dirawat dan diberi obat ramuan tradisional oleh sang Resi yang sakti. Dengan ramuan dedaunan, sakit putri raja akhirnya bisa sembuh. Dalam proses penyembuhannya, putri Runting dan Kuning sering mandi di air terjun yang kemudian diabadikan oleh sang Resi menjadi nama air terjun Roro Kunig.
Air terjun merambat Roro kuning diresmikan Pemerintah Kabupaten Nganjuk pada tanggal 8 Juli 1991. Dikawasan obyek wisata air terjun Roro kuning sudah dilengkapi dengan kolam renang, kamar mandi dan wc, tempat istirahat, tempat parkir luas, area kemping, kios makanan/minuman dan souvenir. Juga dilokasi ini terdapat pusat penangkaran rusa, dengan demikian sangat pas untuk melepas penat atau hanya untuk mengisi liburan. Harga tiket masuk wisata ini adalah Rp 2.000/orang. Biaya parkir sepeda motor Rp 1.000/buah dan Rp 5.000/mobil.
Selain keindahan alam, air terjun merambat Roro Kuning juga memiliki nilai sejarah. Di sekitar lokasi air terjun merambat Roro kuning terdapat monumen perjuangan Panglima Besar Jenderal Sudirman. Monumen ini dibangun untuk mengenang perjuangan Jenderal Sudirman saat memimpin perang gerilya melawan Belanda pada tahun 1949. Selain menumen, di tempat ini juga terdapat sebuah rumah sangat sederhana yang pada masa perjuangan dahulu sempat ditempati Pak Dirman selama satu minggu. Karena itulah selain menikmati keindahan alam, pengunjung air terjun Roro Kuning juga bisa sekaligus mengenang perjuangan Panglima Besar Sudirman.




Nama : Wardi
NPM : 07.1.01.07.0064
FAK/Jurusan : FKIP/Bahasa dan Sastra Indonesia

Rabu, 13 Juli 2011

Mitos "Lamun-lamun" Gua Margo Tresno

Nama              : Febrina Eka Cahyaristi
NPM               : 07.01.1.07.0021
Tingkat           : 4A
Jurusan          : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

MITOS “LAMUN-LAMUN” GUA MARGO TRESNO

G
ua Margo Tresno adalah salah satu tempat pariwisata yang ada di Kabupaten Nganjuk. Gua Margo Tresno menyuguhkan panorama alam yang indah dan nyaman. Banyak pengunjung yang datang sekedar untuk menikmati keindahan alamnya, namun tidak jarang pengunjung yang mendatangi tempat tersebut dengan tujuan tertentu, diantara-nya untuk bersemedi, mendapat kebahagia-an dalam hubungan rumah tangga maupun cinta kasih mereka.

Letak geografis Gua Margo Tresno
Gua Marga Tresno terletak di Desa Sugihwaras Kecamatan Ngluyu 35 Km arah utara pusat kota Nganjuk. Sejauh 650 m sebelum masuk pintu Gua Margo Trisno terdapat kolam renang Argo Mulyo yang biasa dijuluki kolam Ubalan yang berasal dari sumber air alam ubalan dengan airnya begitu jernih. Luas gua Margo Trisno lebih kurang 15×50 m.

Keadaan Gua Margo Tresno
Suasana alam di sekitar Gua Margo Tresno mempunyai panorama pegunungan yang cukup indah dan sejuk. Margo tresno dijuluki juga dengan Gua Lawa, karena di dalam gua tersebut banyak dihuni oleh kelelawar. Keadaan Gua tersebut cukup 

(Gambar 1 : bagian dalam Gua Margo Trisno)

memperihatinkan karena kurangnya ke-sadaran pengunjung untuk ikut menjaga kebersihan di lingkungan tempat wisata Gua Margotrisno. Harga tiket masuk ka-wasan Gua Margo Trisno Rp.2000,-/orang, sedangkan untuk sepeda motor dikenakan tarif  Rp.1000,-/ motor, dan kendaraan roda empat dikenakan tarif Rp.2000,-/kendara-an.

Sejarah mitos “Lamun-lamun” Gua Margo Tresno
Mitos atau legenda yang hidup di masing-masing kawasan di sekitar wilayah Ngluyu, pada dasarnya tidak bisa dilepas-kan dari daya linuwih yang dimiliki oleh para tokoh yang berada dan bertempat di wilayah tersebut. Menurut pemaparan dari Bapak Sarjito (51) Juru Kunci gua, pada masa perang Pajang, kawasan Gua Margo Tresno – Umbul Argomulyo (dulu disebut Ubalan) merupakan tempat persembunyian dan berada di bawah pengamanan pung-gowo yang bernama Tlimah. Seorang punggowo yang paling muda yang dikenal jagoan dan memiliki kesaktian dengan tugas utama untuk menjaga, menahan, menolak, memerangi dan melindungi dari segenap ancaman dan marabahaya agar tetap tercipta kehidupan yang aman dan damai dalam kehidupan sehari-hari. Berkat sawab linuwih yang dimiliki punggowo Tlimah ini, Guo Margo Tresno – Umbul Argomulyo ini kemudian tumbuh dan hidup sebuah kepercayaan bahwa kawasan ini merupakan kawasan yang sangat manjur dan paling tepat untuk melakukan kegiatan “lamun-lamun”. Terutama untuk kegiatan olah rasa dan olah pikir. Mulai mencari inspirasi, mencerahkan hati, niat, pikiran, dan membangun kembali ikatan kebahagiaan, serta kedamaian hati. Ter-masuk dalam urusan cinta kasih dan kebahagiaan hidup berumah tangga. Oleh karena itu dikawasan ini hidup pula sebuah mitos : “ bahwa kalau bahtera kehidupan rumah tangga rusak atau dirusak orang, apabila datang dan berdoa di kawasan Guo Margo Tresno – Umbul Argomulyo, maka doa mereka akan mudah terkabul”.
Mitos tersebut diperkuat dengan sebuah legenda kehidupan keluarga seorang petani yang memiliki anak bernama Djoko Drono, dengan kisah cerita seperti dituliskan kembali oleh R. Soewondo (1997) sebagai berikut : Konon kata sahibul hikayat pada zaman dulu didesa Sugihwaras Ngluyu ada seorang petani bernama Kertojoyo yang hidup rukun dengan istrinya bernama Dinem. Di desa ini Kertojoyo terkenal sebagai petani yang rajin, tekun, sederhana dan jujur. Diceritakan, Kertojoyo mempunyai anak laki-laki semata wayang berwajah tampan diberi nama Joko Drono. Konon ketika Joko Drono menginjak dewasa, Kertojoyo dan istrinya berkeinginan agar anaknya segera mempunyai istri. Pada suatu hari , Kertojoyo memanggil Joko Drono. Kepada anaknya Kertojoyo berkata : “Joko Drono anakku yang kusayangi, bapak dan embokmu akan senang dan berbahagia bila engkau segera punya istri, bapak dan embokmu berharap segera momong cucu.
(Gambar 2 : sumber Air Ubalan)

Karena itu bapak dan embokmu berharap engkau dapat mengerti dan menuruti keinginan bapak dan embokmu.” Joko Drono dengan jujur menjawab : “Bapak dan embok, saya rasa harapan ayah dan embok itu bagi saya adalah seperti peribahasa pucuk dicinta ulam tiba. Sebenarnya sudah agak lama saya akan memberitahu bapak dan embok, tetapi saya malu dan takut. Oleh karena bapak dan embok telah membuka jalan, terus terang memang saya sudah ingin punya istri dan sudah punya pilihan yaitu Yuwati anak paklik ( paman ) Marto di Desa Gampeng. Bapak dan embok juga sudah kenal dengan paklik Marto. Saya ingin segera beristri, tetapi pilihan saya hanya satu yaitu Yuwati.” Mendengar jawaban anaknya tersebut, Kertojoyo dan Dinem sangat senang dan setuju mempunyai calon menantu Yuwati yang cukup cantik.
 (Gambar 3 : bagian dalam Gua Margo Trisno)

Pada suatu hari Kertojoyo dan istrinya datang ke rumah Marto di Desa Gampeng untuk melamar Yuwati. Antara Kertojoyo dan Marto tercapai kata sepakat dan selanjutnya tinggal menentukan hari yang baik untuk pernikahan Joko Drono dan Yuwati. Diceritakan pada hari yang baik telah ditentukan Marto untuk mengadakan perhelatan pernikahan anak-nya yaitu Yuwati dan Joko Drono. Upacara pernikahan berlangsung lancar tanpa halangan apapun.
Konon dikisahkan perkawainan Joko Drono dengan Yuwati tidak mem-bawa kebahagiaan. Karena antara Joko Drono dan istrinya tidak dapat rukun sebagaimana yang diharapkan. Bahkan Joko Drono meskipun sudah menjadi suami Yuwati, namun tidak hidup serumah dengan Yuwati dan tetap tinggal di rumah orang tuanya. Sedangkan Yuwati juga tetap berada di rumah orang tuanya sendiri. Melihat kenyataan ini, baik orang tua Yuwati maupun orang tua Joko Drono sangat sedih. Hari kehari, bulan kebulan keadaan tidak berubah. Joko Drono dan Yuwati tetap belum dapat rukun. Karena itu Kertojoyo berusaha mencari pertolong-an kepada orang-orang pintar, antara lain ke Tuban, Bojonegoro, dan Jombang. Namun, semuanya tidak membuahkan hasil. Joko Drono sebenarnya sangat sedih dan malu, karena apa yang dicita-citakan ternyata tidak terwujud. Namun dibalik itu dengan penuh ke-sabaran, ia tetap menanti dan menanti sampai kapanpun. Bahkan ia bersumpah lebih baik mati daripada hidup tanpa Yuwati. Karena itu siang malam ia selalu memohon kepada Tuhan agar cita-citanya terkabul. Tersebut dalam cerita, pada suatu hari ketika perkawinannya dengan Yuwati genap 1 tahun, Joko Drono pamit kepada orang tuanya pergi ketengah hutan dengan maksud bersemedi secara penuh, mohon kepada Tuhan. Menjelang Subuh ketika Joko Drono telah tiga hari tiga malam bersemedi di tengah hutan, ia menerima wisik bahwa perkawinannya akan mendapatkan kebahagiaan bila ia dan Yuwati bersama-sama mau masuk ke sebuah goa yang ada di Desa Sugihwaras dengan syarat memilih hari yang baik dan dilaksanakan pada pagi hari sebelum jam 10.00.
Dikisahkan setelah mendapatkan wisik tesebut, Joko Drono segera pulang dan menceritakan kepada orang tuanya. Setelah Kertojoyo dan istrinya mendengar cerita anaknya, hatinya senang dan segera menghubungi besannya (Marto). Singkat-nya kedua belah pihak setuju dan diputus-kan akan dilaksanakn pada Hari Jum’at Kliwon. Pada hari yang telah menjadi kesepakatan tersebut, Joko Drono dan Yuwati dengan pakaian pengantin diantar oleh orang tuanya disertai sanak keluarga bersama-sama pergi ke goa. Setelah tiba di Goa , Joko Drono dan Yuwati bersama-sama masuk, sedang yang lain menunggu diluar.
Beberapa saat kemudian Joko Drono dan Yuwati keluar dari goa. Sungguh suatu keajaiban tidak seperti sebelumnya Joko Drono dan Yuwati ber-gandengan tangan dengan mesra, wajah tampak berseri-seri dan selalu tersenyum. Menyaksikan Joko Drono dan Yuwati yang tampak rukun dan mesra itu, semua yang menunggu di luar goa sangat heran. Orangtua Joko Drono dan orangtua Yuwati sangat gembira dan bersyukur. Selanjutnya pasangan tersebut segera diantar pulang ke rumah Marto. Pada malam harinya sebagai ungkapan rasa syukur, Marto mengadakan pementasan Seni Tayub. Kertojoyo dan istri juga hadir disamping undangan tamu-tamu lainnya. Konon diceritakan sejak saat itu Joko Drono dan Yuwati menjadi pasangan suami istri yang serasi, rukun dan bahagia. Dan sejak saat itu pula masyara-kat Sugihwaras percaya bahwa atas rahmat Tuhan Yang Maha Esa, goa yang ada di Desa Sugihwaras itu membawa berkah kerukunan dan kecintaan bagi pengantin yang tidak dapat rukun. Karena itu masya-rakat memberi nama goa tersebut” Margo Tresno”. Artinya , goa yang memberi jalan terpadunya cinta kasih.

Dampak yang terjadi pada masyarakat ten-tang mitos “Lamun-lamun” Gua Margo Tresno
Mitos Lamun-lamun Gua Margo Tresno sedikit banyak memberi dampak pada masyarakat, banyak pasangan muda-mudi bahkan suami istri yang datang ke gua Margo Tresno dengan pengharapan akan mendapat kesejahteraan dan kelang-gengan dalam membina hubungan/bahtera rumah tangga.

Kebenaran mitos “Lamun-lamun” pada masyarakat
Kebenaran mitos Lamun-lamun pada masyarakat sampai saat ini belum dapat dipastikan kebenarannya, hanya saja masyarakat yang datang tersugesti oleh mitos tersebut, dan hal itulah yang membuat keinginan mereka terwujud, karena dari sugesti tersebut masyarakat akan termotivasi untuk memperbaiki segala yang telah ada. Kita harus tetap meyakini segala sesuatu yang terjadi di dunia ini terjadi atas kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Foto, Teks, Dok: Cahyaristi.


Profil Kami

5 orang mahasiswa Universitas Nusantara PGRI Kediri (UNP), terdiri dari 1 orang perempuan dan 4 orang laki-laki, diantaranya :
1. Febrina Eka Cahyaristi
2. Moch. Tofa
3. Samsul Huda
4. Wardi
5. Moch. Sukron